Senin, 03 Oktober 2011

SIAPA BERSANTAI SAAT BEKERJA AKAN MENYESAL SAAT PEMBAGIAN UPAH



Sebagian kita benar-benar telah menyaksikan bagaimana orang-orang zhalim mengintimidasi orang-orang yang beriman di negeri Islam. Mereka melihat betapa polisi, tentara, para algojo, dan orang-orang yang zhalim itu menahan kaum muslimin. Tiada hari berlalu melainkan mereka menahan puluhan bahkan ratusan kaum muslimin. Bahkan para eksekutor itu tidak melewatkan satu malam pun tanpa menyiksa kaum muslimin sejak sekian lama; mereka tidak peduli lagi kepada anak-anak, wanita, orang tua, atau pun pemuda. Siapapun akan mendapatkanbagian terpaan siksa.
Selama tahun-tahun itu banyak akhawat yang dipaksamenggugurkan kandungannya, dipukuli, dan dibiarkan tidur di atas bebatuan di malam musim dingin. Balita pun mendapatkan siksa yang berat, bahkan mereka dibiarkan beberapa hari tanpa makanan.
Bertahun-tahun ikhwah melewati hari raya Idul Fithri antara rumah tahanan, penjara, pengasingan, orang-orang yang terbunuh, dan orang-orang yang terluka. Mereka, keluarga mereka, bapak-bapak mereka, ibu-ibu mereka, anak-anak mereka, dan istri-istri mereka tidak sedikit pun merasakan kegembiraan di hari raya...
Sebagian kita telah menyaksikan hal itu dan juga kejadian-kejadian lain yang terjadi di sekitar mereka, lalu setan menyusup ke dalam jiwa, menghembuskan rasa was-was supaya mereka mencela hikmah di balik takdir. Setan berkata, “Bagaimana bisa Allah membiarkan musuh-musuh-Nya dan para algojo mereka semakin bertambah kuat dari hari ke hari, bertambah canggih alat-alat yang mereka miliki dalam menghadapi orang-orang yang beriman? Mengapa mereka dibiarkan bertambah kokoh dari masa ke masa, mereka merajalela di berbagai penjuru negeri. Mereka memerintah semau mereka sendiri. Bagaimana para pengikut mereka tunduk kepada mereka? Lalu, bagaimana keadaan kalian wahai wali-wali Allah? Kalian tergeletak di atas bebatuan yang bagai salju di musim dingin dan bagai bara di musim panas. Kalian tidak mendapati makanan, minuman, pakaian, selimut, dan bahkan udara yang mencukupi nafas kalian. Ini adalah suatu kenyataan yang tidak akan diyakini kecuali oleh orang-orang yang hidup di tempat seperti ini. bagaimana juga para penguasa sekuler bergelimang kenikmatan, kelezatan, naungan yang nyaman, sedangkan mereka dalam kekuatan penuh untuk menguasai dunia? Bahkan, bagaimana para algojo itu selalu hidup dalam tawa dan canda, sementara pada saat yang sama banyak ikhwah yang ditahan bagai binatang sembelihan oleh tangan mereka di belakang punggung mereka, ia berteriak sedemikian kerasnya sampai pingsan?”
Inilah was-was yang dihembuskan oleh setan di saat-saat yang berat seperti ini. Ini pulalah kata nafsu ammarah bissuu` di masa-masa yang sulit. Ini semua membutuhkan mujahadah yang serius. Ini semua adalah ujian besar yang benar-benar membutuhkan keteguhan untuk menghadapinya.
Kepada setiap aktivis hendaknya berbicara kepada diri sendiri, “Bukankah jika Allah hendak mengambil para syuhada, Dia menciptakan kaum yang membuka tangan mereka untuk membunuh orang-orang yang beriman. Apakah pantas ada orang yang menusuk Umar selain Abu Lu’lu’ah? Atau Ali selain Abu Muljam?[1] Atau Sumayyah selain Abu Jahal?”
Hendaknya pula setiap ikhwah mengingatkan diri masing-masing dengan firman Allah
إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka. (Ali ‘Imran : 178)
Juga firman Allah
سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat kokoh. (al-Qalam : 44-45)
Karenanya, hendaknya ia menasehati diri sendiri dengan nasehat Ibnul Jauzi, “Ada dalil yang menjelaskan bahwa seorang yang beriman kepada Allah itu seperti seorang buruh harian. Masa kerjanya selama benderangnya siang. Nah, seorang yang dipekerjakan di sawah mestinya tidak memakai baju yang bersih. Semestinya ia bersabar selama masa kerja. Barulah seselesainya, ia membersihkan diri dan memakai pakaiannya yang terbaik. Barangsiapa bersantai-santai di saat bekerja akan menyesal saat pembagian upah, ia akan menanggung akibat atas kelambanannya dalam menuntaskan pekerjaannya. Poin ini akan menguatkan kesabaran.”[2]
Selanjutnya hendaklah berkata kepada diri sendiri, “Biarlah mereka mengambil dunia ~itu pun jika dunia mau~ sedangkan kita, cukuplah akhirat menjadi milik kita.”
Dunia seisinya ini adalah kelezatan sementara yang di sisi Allah tak sebanding dengan selembar sayap nyamuk. Dengan hati dan lisan, hendaknya ia mengulang-ulang pernyataan para mantan penyihir Fir’aun ~setelah hati mereka diluapi keimanan~ kepada Fir’aun masa kini dan masa yang akan datang,
فَاقْضِ مَاأَنتَ قَاضٍ إِنَّمَا تَقْضِي هَذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَآ
Putuskan apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. (Thaha : 72)
Hendaknya ia juga mengingatkan diri bahwa para thaghut itu, meski mereka dapat memenuhi dunia dengan guncangan, himpitan, dan ancaman kepada orang-orang yang beriman; sesungguhnya kehinaan, rasa sesak, dan kegelisahan  yang diakibatkan oleh kemaksiatan tidak akan meninggalkan mereka selama-lamanya. Hasan Bashri berkata, “Mereka itu, walaupun bighal tunduk dan kuda-kuda berjalan bagus di hadapan mereka, sesungguhnya kehinaan yang diakibatkan oleh kemaksiatannya dapat terbaca pada raut mukanya. Sesungguhnya Allah hanya akan menghinakan orang yang bermaksiat kepada-Nya.”[3]
Semua ini hanya dapat dirasakan dan dimengerti dengan sebenarnya oleh orang-orang yang benar-benar beriman, shalih, dan benar-benar mengerti tentang Rabb mereka, Penolong mereka yang sebenarnya. Mereka yang mengerti benar bahwa masa mereka dengan para thaghut akan segera berakhir. Kendaraan telah diparkir dan para penumpang telah bergegas-gegas turun.


[1]  Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi hal. 103-104
[2]  Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi hal. 103
[3] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya` dengan lafaz yang mirip 2/149, juga oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah 9/273.

0 komentar:

Posting Komentar