Ilmu layaknya perbendaharaan yang kuncinya adalah bertanya. Sebagaimana disebutkan para ulama tahap pertama untuk memperoleh ilmu adalah dengan bertanya. Ketika seseorang mampu bertanya dengan baik maka dia akan mendapatkan kebaikan yang banyak. Dan apabila dia gagal maka tidak ada kebaikan yang dia peroleh. Yakni pintu kebaikan akan tertutup darinya. Tentang hal ini Abu sulaiman al Ghonawi berkata: "Tanyalah kepada faqih niscaya engkau akan menjadi seperti dirinya".
Mencoba mengkaji lebih dalam, maka akan kita dapati ketrampilan bertanya dapat mengantarkan seseorang kepada kedudukan ilmu yang tinggi. Sebagaimana kisah Abdullah Ibnu Abbas t. Beliau adalah shahabat yang muda usianya dan luas ilmunya. Dan ketika ditanya tentang rahasia beliau mendapatkan kedudukan tersebut, maka dijawab: "Dengan lisan yang banyak bertanya dan hati yang selalu berfikir".
Sayangnya ketrampilan bertanya sering diremehkan. Padahal Ibnu Umar pernah berkata: "Bagusnya pertanyaan merupakan setengah dari ilmu". Akibatnya pertanyaan yang diajukan kurang mendatangkan manfaat. Alih-alih mendatangkan mafsadat. Bukan bagi dirinya sendiri tapi juga orang lain.
Oleh karenanya agar pertanyaan dapat mendatangkan keberkahan ilmu dan kebaikan maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Pertanyaan Singkat Padat
Inilah yang diajarkan Jibril p ketika mendatangi rasulullah. Dia bertanya empat hal yang kesemuanya merupakan pokok-pokok dien (agama). Apakah islam, iman, ihsan, dan tanda-tanda kiamat.
Begitu pula pertanyaan yang dilontarkan oleh shahabat. Mereka tidak bertanya kecuali mendatangkan kebaikan baik di dunia atau di akhirat. Semua itu ditanyakan dengan kalimat singkat padat. Sesungguhya singkatnya pertanyaan menunjukkan kebaikan penanya.
Kesalahan yang terjadi adalah banyak penanya yang menceritakan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan. Sehingga pertanyaan bertele-tele dan tidak fokus. Akibatnya membingungkan orang yang ditanya dan mengurangi waktu bagi penanya lainnya. Tentunya sangat rugi apabila banyak waktu yang terbuang disebabkan pertanyaan yang bertele-tele dan tidak fokus.
2. Bertanya Dengan Sopan
Seorang muslim haruslah berbicara sesuai adab-adab islami. Terlebih lagi ketika dia bertanya kepada orang lain yang lebih berilmu. Dia harus bertanya dengan ungkapan sopan dan nada lembut. Sebab rendahnya suara menunjukkan kerendahan hati.
Tidak pantas apabila bernada kasar dan memojokkan. Lebih-lebih meninggikan suaranya. Ibnu Taimiyah berkata: "Barangsiapa yang meninggikan suaranya kepada orang lain maka hal itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa dia kurang menghormatinya".
Termasuk adab yang baik pula adalah memulai pertanyaan dengan perkataan: "Semoga Allah memberikan kebaikan kepada anda!" dan diakhiri dengan ucapan syukur dan doa. Jangan sampai mengucapkan kalimat yang menunjukkan keraguan terhadap jawaban yang telah diberikan. Sebab dapat menyakitkan hati orang yang ditanya.
3. Pertanyaan Jelas
Adakalanya pertanyaan tidak dapat disingkat dan membutuhkan penjelaskan secara detail. Apabila ini terjadi maka jangan sampai ada informasi-informasi yang disembunyikan. Hal itu akan menyebabkan perbedaan hukum yang dihasilkan. Atau bertanya sesuatu tanpa menyebutkan kronologi pertanyaan itu muncul sebagai bentuk justifikasi (pembenaran atas tindakannya).
Sesungguhnya jawaban yang diberikan tidak dapat merubah hukum asal. Haram tak dapat menjadi halal ataupun sebaliknya. Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ وَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ (رواه البخاري و مسلم بلفظ البخاري)
"Aku hanyalah manusia biasa dan sesungguhnya apabila kalian berselisih kemudian mendatangiku, bisa jadi ada di antara kalian yang lebih bagus hujjahnya –yakni dalam penyampaian- kemudian aku memenangkannya sesuai apa yang kudengar darinya. Maka barangsiapa yang aku menangkan dirinya atas hak saudaranya maka janganlah dia mengambilnya. Sesungguhnya aku memberikan potongan api neraka baginya". (H.R. Bukhori dan Muslim [1]dengan lafadz Bukhori)
Dalam hal ini, seorang yang ditanya akan memberikan jawaban sesuai informasi yang sampai kepadanya. Bukan atas sesuatu yang disembunyikan. Maka dalam pengungkapan tidak boleh terjadi penyamaran sehingga jawaban yang diberikan tepat sesuai dengan hukum yang ada.
4. Tidak Membanding-bandingkan
Perbedaan ulama merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan. Pun ketika rasulullah n masih hidup terjadi pula perselisihan di kalangan shahabat. Terlebih lagi beliau telah tiada. Selama ulama masih ada maka perbedaan ulama akan senantiasa ada. Maka cara mensikapinya pun harus bijaksana.
Seorang penanya tidak boleh membanding-bandingkan jawaban antara satu ulama dengan ulama lainnya. Sebab masing-masing memiliki dasar sendiri-sendiri. Dan tidak boleh seseorang memaksakan pendapatnya kepada orang lain.
Dalam hal ini penanya terbagi menjadi dua:
- Orang yang dapat membedakan dalil. Maka mereka harus mengambil pendapat yang lebih kuat.
- Orang awam yang tidak dapat membedakan dalil. Maka mereka harus mengambil pendapat dari orang yang dia anggap lebih tsiqoh (lebih terpercaya) baik ilmu maupun agamanya.
Jangan sibuk membanding-bandingkan pendapat ulama. Sebab mereka adalah mujtahid apabila salah mendapatkan satu kebaikan apabila benar mendapatkan dua kebaikan. Berbeda dengan penanya yang hanya muqollid (mengikuti pendapat yang ada).
5. Meluruskan Niat
Seseorang yang tidak mengetahui hukum maka tidak mengapa bertanya bahkan merupakan kewajiban baginya untuk bertanya. Yang perlu diingat adalah kelurusan niat ketika bertanya. Pertanyaan yang diajukan bulanlah sekedar untuk menguji orang yang ditanya atau ingin mengetahui kelemahannya. Ini merupakan akhlak yang sangat buruk sekali.
Tidak pula hanya sekedar basa-basi untuk mengetahui pendapatnya dalam suatu permasalahan sehingga dapat dijadikan argumentasi di hadapan orang lain yang tidak sependapat dengannya. Terlebih lagi bertanya untuk memojokkan orang lain atau kelompok lain yang ada di majlis tersebut karena berbeda pendapat. Seperti seseorang yang mengatakan: "Wahai ustadz, apa pendapatmu tentang seseorang yag mengatakan begini dan begini?" Pertanyaan seperti ini tidaklah menunjukkan adanya itikad baik. Tak jarang akan menimbulkan permusuhan di antara mereka.
Dan diperbolehkan seseorang menanyakan permasalahan yang sudah dia ketahui. Tujuannya agar semua orang mengetahui hakekat permasalahan tersebut. Tindakan ini dilakukan apabila tidak ada yang menanyakannya padahal permasalahan tersebut perlu untuk diketahui oleh semua.
6. Jangan menanyakan yang belum terjadi
Mempertanyakan sesuatu yang belum terjadi merupakan perkara aib di kalangan salaf. Mereka pun tak mau menjawabnya hingga perkara tersebut terjadi. Dikisahkan suatu ketika umar menuju kerumunan manusia dan berkata: "Aku melarang kalian bertanya kepada kami perkara yang belum terjadi. Sesungguhnya kami memiliki kesibukan yang lain."
Begitu juga Zaid bin Tsabit al Anshory. Apabila ditanya suatu perkara maka dia bertanya: "Apakah hal itu sudah terjadi?" Apabila mereka menjawab: "belum", maka Zaid berkata: "Tinggalkanlah, hingga hal itu terjadi!"
Para ulama menyebutkan alasan mengapa umar melarang hal tersebut. Di antaranya karena pertanyaan yang diajukan tujuannya adalah untuk menyusahkan yang ditanya dan membingungkannya tidak untuk mengambil faidah atau tafaqquh dalam dien.
Namun bukan berarti mempertanyakan sesuatu yang belum terjadi merupakan hal yang dilarang mutlak. Shahabat Hudzaifah ibnu Yaman adalah shahabat yang selalu bertanya tentang keburukan kepada rasulullah n. Dan rasulullah pun menjawabnya serta tidak melarangnya. Sebab beliau tahu bahwa tujuannya adalah untuk mengambil faidah dan selamat dari keburukan tersebut. maka apabila tujuan dari pertanyaan tersebut untuk kebaikan tidak mengapa dia menanyakannya walaupun hal itu belum terjadi.
Khotimah
Bertanya merupakan cara termudah untuk mendapatkan ilmu. Dan orang yang paling baik akalnya adalah mereka yang rakus untuk bertanya kepada para ulama dan para imam yang lurus. Maka sangatlah beruntung mereka yang dapat memahami permasalahan ini dan mengamalkannya.
Sebagai penutup alangkah indah perkataan seorang penyair:
Obat kebodohan adalah pertanyaan yang baik
Sesungguhnya yang memperlama kebodohan adalah tidak bertanya dalam kebodohan
Jadilah orang yang selalu bertanya hal yang bermanfaat bagimu
Sesungguhnya engkau diciptakan memiliki akal supaya engkau bertanya dengannya
Referensi:
- Ma'al Ilmi, Salman bin Fahd al Audah, Muassasah Islam al Yaum, Cetakan pertama 1428 H
- Al Wafi, Dr. Musthofa Bugho dan Muhyiddin Mistu, Maktabah Turots, Madinah Munawwaroh, Cetakan Kedua 1413 H / 1992 M
- Al Adab asy Syar'iyah, Imam Faqih Muhaddits Abi Abdillah Muhammad bin Muflih al Maqdisy,
- Adabun Dunya wad Dien, Maktabah Syamelah
- Ghidzaul Albab fie Syarhi Mandzumatil Adab, Maktabah Syamelah
- Mu'jamul A'dab, Maktabah Syamelah
- Shohih Bukhori, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori al Ju’fi, Darus Salam linnasyr wat tauzi’, Riyadh, Cetakan pertama 1417 H / 1997 M.
- Shohih Muslim, Imam Abi Al Husain Muslim bin Hijaj bin Muslim Al Qusyairi an Nisabury, Darus Salam lin nasyr wat tauzi’, Riyadh, Cetakan Pertama Robiul Awwal 1419 H / 1998 M.
0 komentar:
Posting Komentar